1.
Pengertian
‘Urf
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu yang sering diartikan
dengan “al-ma’ruf” dengan arti:
“sesuatu yang dikenal”. Menurut istilah, ‘urf
adalah segala sesuatu yang sudah dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat
secara turun-temurun dan sudah menjadi adat-istiadat, baik berupa perkataan (qauly) maupun perbuatan (‘amaly).
2.
Macam-macam
‘Urf
-
Ditinjau dari segi materi yang biasa
dilakukan.
a.
‘Urf
Qauli yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.
Kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang
digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Dalam kebiasaan sehari-hari
orang Arab, kata walad itu digunakan
hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan; sehingga dalam
memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qauli tersebut.
b. ‘Urf
Fi’li yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan.
Umpamanya kebiasaan jual beli barang–barang yang enteng (murah dan kurang
begitu bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan
barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad)
apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli.
-
Dari segi ruang lingkup penggunaannya.
a.
‘Urf
Umum yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh
penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contohnya:
menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak.
Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil.
b.
‘Urf
Khusus yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau
pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu.
Umpamanya: bagi masyarakat tertentu, penggunaan kata “budak” untuk anak-anak
dianggap menghina, karena kata itu hanya terpakai untuk hamba sahaya; tetapi
bagi masyarakat lainnya kata “budak” biasa digunakan untuk anak-anak.
-
Dari segi penilaian baik dan buruk.
a. ‘Urf
yang shahih, yaitu ‘urf yang berulang-ulang dilakukan,
diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan
budaya yang luhur. Umpamanya: memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas
suatu prestasi.
b. ‘Urf
yang fasid, yaitu ‘urf yang berlaku di suatu tempat
meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang
negara dan sopan santun. Umpamanya: pesta dengan menghidangkan minuman keras,
membunuh anak perempuan yang baru lahir, dan kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).
3.
Kedudukan
‘Urf dalam Menetapkan Hukum
Secara umum ‘urf itu diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan ulama
mazhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Ulama Hanafiyah
menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu
adalah istihsan al-‘urf. Oleh ulama Hanafiyah, ‘urf itu di dahulukan atas qiyas
khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti: ‘urf itu men-takhsis umum nash.
Ulama Malikiyah
menjadikan ‘ urf atau tradisi yang
hidup di kalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.
Ulama Syafi’iyah
banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan batasannya
dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Contohnya: menentukan arti dan
batasan tentang tempat simpanan dalam hal pencurian, waktu dan kadar haidh, dan
lain-lain.
Alasan para
ulama mengenai penerimaan mereka terhadap ‘urf tersebut adalah hadist yang
berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam
musnadnya, yaitu : Apa-apa
yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di
sisi Allah adalah baik.
Disamping itu
adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti: orang
banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan ‘urf tersebut. Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada ‘urf, maka kekuatannya menyamai hukum
yang ditetapkan berdasarkan nash.
Beberapa persyaratan yang
ditentukan para ulama untuk menerima ‘urf,
yaitu :
1) ‘Urf
itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Umpamanya tentang
kebiasaan istri yang ditinggal mati oleh suaminya dibakar hidup-hidup bersama
pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa
agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat.
2) ‘Urf
itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam
lingkungan itu. Umpamanya: kalau alat pembayaran resmi yang berlaku disuatu
tempat hanya satu jenis mata uang, maka dalam suatu transaksi tidak apa-apa
untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua
orang telah mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang
yang berlaku. Tetapi bila di tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang
sama-sama berlaku , maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata uangnya.
3) ‘Urf
yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat
itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian.
Contoh : orang yang melakukan akad nikah dan pada waktu akad itu tidak
dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil, sedangkan ‘urf yang berlaku waktu itu adalah
melunasi seluruh mahar. Kemudian ‘urf
ditempat itu mengalami perubahan, dan orang-orang telah terbiasa mencicil
mahar. Lalu muncul suatu kasus yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara
suami istri tentang pembayaran mahar tersebut. Suami berpegang pada ‘urf yang sedang berlaku (yang muncul
kemudian), sehingga ia memutuskan untuk mencicil mahar, sedangkan si istri
minta dibayar lunas (sesuai adat lama ketika akad nikah berlangsung). Maka
berdasarkan pada syarat dan kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya,
sesuai dengan ‘urf yang berlaku pada
waktu akad berlangsung.
4) ‘Urf tidak
bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan
prinsip yang pasti.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa ‘urf itu digunakan
sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Referensi : Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009.
Referensi : Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar